Kaum Muda Warga Dan Arab Ogah Pilih Biden
RM.id Rakyat Merdeka – Para aktivis dan pendukung pro Palestina selalu menghadiri kampanye Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Mereka menentang kebijakan Paman Sam yang berpihak pada Israel, yang tengah berkonflik dengan Hamas.
Aktivis pendukung Palestina tercatat beberapa kali menginterupsipidato Presiden Biden saat kampanye di University of George Mason, Manassas, Virginia, Selasa (23/1/2024). Mereka meneriakkan yel-yel anti Biden sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Gaza. Pendemo geram karena Biden terkesan bodo amat dengan kekejaman Israel di Gaza.
Menurut media online, Politico, Jumat (26/1/2024), pidato Biden di Virginia membahas mengenai Undang-Undang (UU) Aborsi yang telah keluar dari jalur. Di tengah pidatonya, tiba-tiba ada demonstran yang menyela.
“Lantas berapa bayi yang kau biarkan mati di Gaza?” teriak pendemo.
“Gencatan senjata sekarang atau tidak ada suara untukmu,” ancam seruan lain “Joe sipembunuh” pun terdengar sampai pihak kepolisian mengamankan para demonstran.
Aksi protes itu diorganisir oleh Die-In For Humanity. Sekitar 700-an anggota kelompok itu telah datang di hampir 100 acara yang dihadiri Biden. Mereka juga demo di luar kediaman para anggota kabinet Biden.
Pemimpin Die-In For Humanity, Hazami Barmada mengatakan, pihaknya melihat adanya pergeseran arus dukungan warga Paman Sam terhadap Biden.
“Dia tidak akan mendapatkan suara dari komunitas Arab-Amerika ketika masih terus menerus mengabaikan suara komunitas Arab-Amerika yang berulangkali menyerukan agar ketidakadilan dan kekejaman di Gaza segera dihentikan,” jamin Barmada.
Menurut Gedung Putih, Biden tidak keberatan dengan kehadiran massa pro Palestina di setiap jadwal kampanyenya. Biden mendukung aksi demo selama itu tidak rusuh.
“Biden yakin Israel tengah berjuang melawan Hamas. Kami juga tengah berjuang untuk mendesak Israel agar lebih fokus meminimalisir korban sipil dan mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan,” ujar Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby.
Sepanjang Januari ini, pidato kampanye Biden diinterupsisetidaknya 14 kali oleh massa proPalestina. Sejumlah analis mengatakan, protes itu menunjukkan ketidakpuasan dari masyarakat terhadap Partai Demokrat. Karena di bawah pengaruh kebijakan partai tersebut, Israel membabi buta menyerang warga Palestina, dan menewaskan hingga 26 ribu orang.
Pengamat senior di AmericanEnterprise Institute, Norm Ornstein mengatakan, isu Gaza sudah menjadi masalah politik bagi Biden di dalam negeri.
“Sayangnya, kini Israel justru bertindak semena-mena. Dan itu langkah awal yang akan membuat banyak pemilih menjauhi Biden, tidak hanya pemilih Arab Amerika, tetapi juga kaum muda progresif,” ujar Ornstein.
Orstein menambahkan, isu kebijakan luar negeri jarang sekali menimbulkan dampak pada pemilu. Namun, dapat membuat perbedaan ketika persaingan berlangsung sangat ketat. Seorang pemilih independen di New Hampshire, Isaac Geer, mengatakan, ia belum menentukan pilihan antara Biden atau Trump.
“Hal terbesar yang saya menjadi pertimbangan utama saya dalam pemilu kali ini adalah kebijakan luar negeri. Sangat penting bagi saya agar kita tidak terlibat dalam perang di luar negeri, menekan pengeluaran militer, dan membawa pulang atau mempertahankan pasukan kita di Amerika saja,” bebernya.
Rencana Trump untuk menyelesaikan krisis Gaza masih belum jelas. Setidaknya, selama menjabat sebagai orang nomor satu AS, Trump pernah membuat aturan melarang imigran Muslim masuk AS.
Bagi para aktivis Muslim, ini adalah pilihan yang sulit. Salah satu penggagas gerakan “Abandon Biden” atau “Tinggalkan Biden” di kalangan pemilih Muslim, Hassan Abdel Salam menyebut Trump lebih baik jika dibandingkan Biden.
“Trump melarang teman, kolega dan keluarga kami memasuki Amerika. Tetapi Biden justru membunuh mereka. Empat tahun di bawah pemerintahan Republik tidak sebanding dengan satu hari di Gaza, ini argumen yang muncul di dalam komunitas kami. Bahwa kami selalu harus berkorban,” ujarnya.
Jajak pendapat nasional Reuters/Ipsos terhadap 1.250 orang dewasa ASmenunjukkan, Trump unggul atas Biden dengan perolehan suara 40 persen berbanding 34 persen. Sedangkansisanya tidak yakin atau berencana memilih orang lain atau tidak memilih siapa pun. Jajak pendapat tersebut memiliki margin kesalahan tiga persen. Hal ini menunjukkan keuntungan bagi Trump.
“Saya tidak suka berpikir bahwa kita terus-menerus menghadapi dua hal buruk,” ujar Kimberly Sofge (56), pemilih yang bekerja sebagai manajer proyek di Washington, DC. “Sejujurnya saya merasa kita bisa berbuat lebih baik,” sambungnya.
Warga Washington lainnya, Whitney Tallaraci, menjadi salah satu pemilih yang mempertimbangkan alternatif lain.
Ketika ditanya apakah dia akan memilih Biden atau Trump, Tallarici berkata, “Saya mungkin akan memilih pihak ketiga.” https://nanasapel.com/